Hidupku penuh dengan kesedihan – karena itu aku selalu mengembara. Aku selalu berangkat, selalu pergi, selalu berada dalam perjalanan, menuju ke suatu tempat entah di mana, namun kesedihanku tidak pernah hilang. Kesedihan, ternyata, memang bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, karena kesedihan berada di dalam diri kita.
Aku selalu mengira kalau melakukan perjalanan jauh maka kesedihan itu akan bisa hilang karena tertinggal jauh di belakang, tapi itu tidak pernah terjadi. Ada segaris luka dalam hatiku yang telah mendorong aku pergi jauh dari kampung halamanku dan sampai sekarang belum pernah kembali.
Mungkin aku tidak akan pernah kembali meskipun kesedihanku suatu hari akan hilang. Aku sudah terlanjur tidak pernah merasa punya rumah, dan tidak pernah merasa harus pulang ke mana pun dan aku menyukainya. Barangkali kesedihanku tidak akan pernah hilang tapi sudahlah, aku tidak ingin memanjakan perasaan. Aku sudah selalu membiasakan diriku hidup bersama dengan kesedihan – apa salahnya dengan kesedihan? Apa salahnya dengan duka? Apa salahnya dengan luka?
Setelah mengembara bertahun-tahun lamanya aku belajar hidup bersama dengan kesedihan, kesepian, dan keterasingan. Semua itu tidaklah mudah, tapi apalah yang bisa diperbuat oleh seseorang dalam perantauan? Aku ini seorang pengembara, cuma seorang musafir lata yang tiada bersanak dan tiada berkawan, pergi dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan – sia-sia mencoba menghilangkan kesedihan.
Kemudian, setelah bertahun-tahun melakukan perjalanan, akhirnya aku mempunyai juga tujuan, atau semacam tujuan, setidaknya suatu alasan yang membuat aku terus menerus melakukan perjalanan nyaris tanpa berhenti kecuali untuk mengumpulkan tenaga kembali. Aku selalu pergi, selalu berjalan, karena selalu ingin mengenal sesuatu yang lain, yang belum kukenal, dan betapa banyak keindahan yang terdapat di dunia yang luas terbentang.
Baca juga: [Cerpen] Bagaimana Aku Bisa Membayangkan Perempuan Lain ?!
Baca juga: [Cerpen] Bagaimana Aku Bisa Membayangkan Perempuan Lain ?!
Aku telah berjalan dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Dari kota ke kota, dari kampung ke kampung, keluar masuk hutan, mengarungi wilayah dan mendapat pengalaman. Aku selalu melakukan perjalanan sendirian, dan karena itu aku banyak merenung. Sambil melihat pemandangan yang tidak pernah kusaksikan, aku berpikir tentang kehidupan. Membayangkan bumi terbentang yang dulu tidak dihuni manusia, aku merenungkan makna kebudayaan. Melewati padang salju membeku, padang rumput menghijau, dan pantai-pantai membiru, aku memikirkan manusia dan alam.
Aku telah menyeberangi tujuh lautan, mendaki duapuluh gunung, menjelajahi tiga gurun, dan menyuruk ke perkampungan suku-suku terpencil, namun aku tidak pernah merasa bisa tinggal di suatu tempat agak lebih lama. Di tempat yang paling nyaman, makmur, dan indah pun aku selalu merasa gelisah. Selalu ada cakrawala baru yang ingin kurengkuh, dari ujung dunia yang satu ke ujung dunia yang lain. Barangkali rumahku adalah perjalanan itu sendiri. Aku senang tidur di bawah pohon di padang terbuka, berselimut jerami di dalam gerobak, terkantuk-kantuk di atas keledai, atau telentang menatap rembulan di dalam sampan yang dibawa arus pelahan. Betapa berumah aku dalam pengembaraan.
Begitulah, suatu ketika dalam perjalananku tibalah aku di Negeri Senja, yang seperti tiba-tiba saja muncul di hadapanku setelah menyeberangi sebuah gurun selama dua minggu. Dari jauh, Negeri Senja cuma bayangan hitam tembok-tembok beku perbentengan yang tua. Benteng semacam itu sudah tidak ada artinya lagi sekarang, apalagi benteng itu pun nyaris merupakan reruntuhan, menjadi warisan sejarah yang tidak terurus. Dari jauh, Negeri Senja hanya tampak sebagai bayangan hitam karena di latar belakangnya tampaklah lempengan bola matahari raksasa yang jingga dan membara itu memenuhi ruang, menyebabkan langit di atas itu semburat jingga dengan tepian mega-mega yang telah menjadi keemasan.
Aku masih jauh dari kota ketika sejumlah orang bersorban mencegat aku di balik bukit pasir.
Seseorang bicara dengan bahasa antarbangsa yang fasih.
“Tuan, apakah Tuan yang selama ini kami tunggu?”
“Pasti bukan, siapakah yang kalian tunggu?”
“Kami menunggu Penunggang Kuda dari Selatan.”
“Siapakah itu?”
“Dia adalah orang yang akan menyelamatkan kami.”
“Menyelamatkan? Dari apa?”
“Dari segalanya.”
Aku perhatikan mereka. Apakah mereka sudah kehilangan akal? Sudah jelas aku menunggang unta, bukan kuda.
“Kalian lihat, aku tidak menunggang kuda.”
“Barangkali saja Tuan mengganti kuda Tuan dengan unta sebelum menyeberangi gurun.”
“Yah, itu memang mungkin, tapi aku bukan Penunggang Kuda dari Selatan, aku datang dari
Timur Jauh.”
“Oh, maafkan kami Tuan, kami sudah bertahun-tahun menanti di sini, dan kami sudah gelisah.
Kami menanyai setiap orang yang datang dari selatan.”
Ketika aku berlalu, kulihat sejumlah orang itu memandang ke selatan kembali. Di mata mereka terpancar harapan, tapi harapan yang sudah memudar. Apakah kiranya yang mereka alami sehingga begitu berharap seperti itu? Menunggu seseorang yang bisa menyelamatkan mereka entah dari apa, sampai bertahun-tahun lamanya, bukanlah peristiwa biasa. Siapa pula Penunggang Kuda dari Selatan yang sangat diharap-harapkan itu? Siapakah orangnya yang begitu perkasa sehingga begitu diharapkan akan pasti bisa menyelamatkan sejumlah orang dari sesuatu yang aku belum tahu apa?
Segalanya serba keemasan ketika aku memasuki kota itu, serba merah keemas-emasan karena siraman cahaya matahari separuh yang bertengger di cakrawala itu. Kulihat cahaya senja seperti jalinan lembut benang-benang emas yang terpancang, dari matahari langsung ke jendela, ke dinding, ke pohon, dan ke daun-daun. Seperti garis-garis, seperti balok-balok, seperti tiang-tiang yang direbahkan.
Rasanya baru sekali ini aku melihat cahaya berleret-leret begitu nyata, seolah-olah benda padat yang bisa dipegang. Tapi tentu saja cahaya bukan benda padat dan orang-orang berkerudung, bersorban, dan bersarung melewatinya sehingga cahaya itu seperti riak kolam yang tersibak-sibak. Cahaya itu menjadi terang dan gelap karena orang-orang yang lewat dan karena itu Negeri Senja seperti sebuah kota yang tenggelam dalam lautan cahaya sepenuhnya. Aku hanya seperti sebuah bayang-bayang yang berjalan. Kulihat bayang-bayangku sendiri menunggangi unta di tembok-tembok kota.
Aku berjalan menyusuri kota menunggang seekor unta tua yang telah membawaku menyeberangi gurun bersama rombongan kafilah para pedagang garam. Menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, memang hampir segalanya berwarna keemasan. Aku tidak melihat warna biru, aku tidak melihat warna hijau, apalagi warna merah jambu – segalanya adalah warna-warna senja. Warna, cahaya, dan suasana yang hanya ada apabila matahari akan terbenam. Dinding-dinding keemasan, tapi banyak juga ruang yang gelap dan temaram. Lorong-lorong suram dan tenggelam dalam bayangan hitam.
“Mau ke manakah Tuan, mencari penginapan? Marilah saya antar. Saya tahu penginapan yang murah dan menyediakan makan untuk unta Tuan. Marilah saya antar, supaya hari ini ada sepotong roti yang bisa saya makan.”
Aku sudah begitu lelah. Menyeberangi gurun pasir selama dua minggu bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Aku menyerah saja kepada anak kecil yang bicara dengan bahasa antarbangsa terpatah-patah itu. Ia menghela tali untaku menuju ke sebuah penginapan sementara aku menoleh ke kiri dan ke kanan dengan lesu. Angin berpasir yang sudah dua minggu terus menerus menimpaku belum juga hilang sampai di dalam kota ini. Wajahku penuh dengan debu dan begitu juga wajah banyak orang di kota ini. Semua orang seperti memakai bedak tapi jelas itu bukan bedak. Mereka menutupi wajah mereka dengan kain yang juga melindungi rambut mereka dari angin yang berpasir. Jadi di mana-mana aku cuma melihat mata. Itulah mata yang memandang dengan tajam, dengan suram, atau dengan bertanya-tanya. Apalah yang bisa kita katakan dari sebuah pandangan mata?
Kuhirup aroma setanggi yang mengalir dari sebuah jendela. Ketika aku menengok ke jendela itu, muncul wajah seorang wanita yang bercadar. Dari balik cadarnya yang tipis kulihat ia tersenyum. Bibirnya begitu merah tertimpa cahaya, dan ia membawa anglo kecil berisi dupa.
Jadi kini aroma setanggi bercampur aroma dupa, dan aroma itu makin lama makin tajam karena agaknya aroma itu mengalir dari setiap jendela dan pintu. Angin yang berpasir akan selalu membuyarkannya tetapi aroma itu akan selalu mengalir kembali.
Aku tenggelam dalam sebuah suasana yang menekan. Orang-orang di jalanan tak banyak berbicara dan di jalanan itu pun kepala mereka lebih sering tertunduk. Kepala-kepala tertunduk itu kadang-kadang terangkat melihatku dan aku hanya akan melihat mata dari kepala-kepala itu. Aku merasa gagal membaca sesuatu dari mata mereka. Apakah kiranya yang mereka baca dari mataku.
Aku pun menundukkan kepalaku supaya tidak tampak terlalu asing karena selalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Apakah cahaya senja yang temaram meski keemas-emasan itu yang membuat suasana tampak menekan? Aku telah mengalami seribu senja di seribu kota dan memang senja selalu memberikan kepada kita perasaan yang rawan, namun agaknya ada sesuatu yang lain di kota ini entah apa, sesuatu yang berat dan menekan.
Sebenarnyalah aku tidak pernah mengenal Negeri Senja sebelumnya. Aku hanya pernah mendengar namanya di sebuah kedai, ketika seorang musafir yang pandai bercerita dalam bahasa yang kukenal dikerumuni para pengunjung. Ia menceritakan suatu hal yang sangat sulit dipercaya, yakni bahwa matahari tidak pernah terbenam di Negeri Senja.
“Bagaimana itu mungkin?”
“Itulah yang juga menjadi pertanyaanku, bagaimana itu mungkin, sedangkan di sini matahari timbul dan tenggelam seperti biasa. Bukankah matahari itu-itu juga yang tampak di setiap negeri di muka bumi? Kalau matahari di Negeri Senja itu memang tersangkut di cakrawala, mestinya di negeri lain keadaannya juga tidak pernah berubah. Tapi ini tidak, hanya di Negeri
Senja matahari tidak pernah terbenam.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Itulah pertanyaanku juga, kenapa bisa begitu?”
Negeri Senja memang tidak terdapat di dalam peta, ia ada tapi tiada – hanya para pengembara yang kebetulan kesasar saja yang mengenalnya, dan mereka pun tidak pernah menganjurkan untuk datang ke sana.
“Tidak ada apa-apa di sana,” katanya, “selain kemiskinan, kejahatan, dan penindasan.”
“Tentang matahari yang tidak pernah terbenam itu?”
“Kenapa?”
“Tidak ada yang tertarik menyelidikinya?”
“Wah, orang-orang Negeri Senja menganggapnya biasa.”
“Biasa?”
“Ya, biasa. Mereka sudah biasa hidup seperti itu.”
“Hidup dengan matahari tidak pernah terbenam?”
“Hidup dengan matahari tidak pernah terbenam.”
“Apakah negeri seperti itu memang benar-benar ada?”
“Para ahli ilmu alam juga tidak percaya. Mereka tidak mau membuang waktu mencari Negeri Senja. Tapi aku pernah ke sana. Percayalah bahwa ceritaku ini bukan karangan.”
Aku juga tidak ingin percaya ketika mendengarnya. Para musafir yang kadang-kadang kujumpai memang ada juga yang suka membual. Namun pada suatu hari ketika sedang duduk beristirahat di bawah sebatang pohon, datanglah kafilah para pedagang garam itu. Mereka mengisi kantung-kantung air yang terbuat dari kulit. Dari jumlahnya tampak akan mengadakan perjalanan jauh.
“Mau ke mana sahib?”
“Mau ke Negeri Senja.”
Kini aku berada di Negeri Senja. Karena lelah dan lesu, aku lupa persoalan matahari tersebut. Nanti, ketika aku terbangun, dan membuka jendela penginapan yang kumal itu., barulah aku akan menyadari, matahari ternyata memang tidak pernah terbenam di Negeri Senja.
“Kita sudah sampai,” kata anak kecil berambut keriting itu.
Aku baru sampai di depan penginapan. Maafkan aku, rupanya ceritaku tadi terlalu cepat, meski pemandangan tidak akan pernah berubah. Matahari membara seperti lempengan besi di tungku pembakaran. Matahari itu terbenam separuh, cahayanya membakar langit begitu rupa sehingga langit itu betul-betul membara.
Aku menghela nafas. Aku sudah berada di Negeri Senja. Aku membayangkan wajah-wajah yang tidak akan pernah percaya jika aku menceritakannya. Aku tidak tahu apakah kau akan percaya padaku Alina – kurasa aku tidak akan pernah tahu, karena kau tidak pernah berbicara apa-apa kepadaku, hanya mendengarkan dengan mata penuh ingin tahu. Tapi kapankah aku akan pernah bertemu lagi denganmu Alina, jika aku tak pernah tahu apakah akan pernah kembali?
Seperti juga aku tak pernah tahu, atau takut untuk tahu, apakah dikau menunggu atau tidak menunggu.
Oleh: Seno Gumira Ajidarma
sumber: duniasukab.com
No comments:
Post a Comment