Diriwayatkan, suatu ketika Nabi Muhammad saaw sedang duduk di Masjid bersama sahabat-sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang pemuda yang serta merta berteriak, “Ya Muhammad, aku sangat mencintai engkau.”
Semua terperangah dengan pernyataan yang begitu tegas, polos namun terdengar sangat serius. Namun Nabi saaw merespon santai, “serius?”.
Pemuda ini kembali mengungkapkan perasaan cinta yang kelihatannya tak mampu ia bendung terhadap sosok Nabinya itu. “Muhammad, tak ada satupun yang lebih kucintai di dunia ini selain engkau!”, ia kembali mengulanginya.
Nabi saaw menyimak semua perkataannya lalu bertanya, “Apakah engkau masih punya ibu?”. Ia menjawab, “Iya.” Lalu Rasulullah saaw memberi perintah kepada pemuda ini, “Sekarang pulanglah, dan bunuh ibumu!”.
Tidak hanya pemuda ini, seisi masjid terkejut mendengar perintah terkejam yang pernah mereka dengar keluar dari mulut seorang Nabi.
“Apakah engkau punya ibu yang paling kau sayangi?!”, kembali Rasul saaw bertanya dengan nada sedikit keras. “Benar, ya Rasulullah”, jawab pemuda ini lagi. “Maka sekarang pulanglah dan bunuh dia”, Rasul saaw kembali mengulangi perintahnya.
Tanpa berfikir panjang, si pemuda ini bergegas berangkat sambil berkata, “Baik ya Rasulullah, akan kubunuh ibuku.” Seisi masjid berhenti bernafas. Tak pernah disangka seorang Muhammad yang begitu sering memerintahkan pengikutnya untuk mencintai seorang ibu, kini malah memberi perintah untuk membunuhnya.
Dalam keheningan itu tiba-tiba Nabi saaw berkata kepada mereka yang ada dalam masjid, “Sudah kalian saksikan pemuda tadi? Bisa kalian rasakan bagaimana ia begitu mencintaiku?”. Seisi masjid diam.
“Ia bahkan bersedia membunuh ibunya karena cintanya kepadaku,” Rasul menjelaskan. “Kalau kalian benar-benar mencintai seseorang melebihi siapa pun, maka kalian pasti mentaati apapun perintahnya. Itu yang disebut cinta,” Nabi saaw menutup pesannya.
*****
Saudara-saudara sekalian, dari kisah di atas mungkin kita dapat menarik kesimpulan tentang kisah yang lebih awal terjadi dalam sejarah. Yaitu kisah Ibrahim as yang bersedia secara tulus ikhlas membunuh anaknya, hanya untuk sekedar menjalankan perintah dari Tuhan yang paling dicintainya.
Para ulama telah menjelaskan, puncak tertinggi dari maqom agama adalah “cinta.” Dalam terminologi lainnya disebut “ridha.” Salah satu bukti cinta adalah, kita bersedia melakukan apapun untuk yang kita cintai, apapun juga. Kita sering mendengar bagaimana seseorang bersedia melakukan apapun yang bahkan dapat mencelakan dirinya, hanya demi anaknya, keluarganya, sahabatnya, atau seseorang yang dicintainya.
Demikian juga dalam agama, puncak cinta adalah keterkaitan hati kepada Allah dan Rasulnya, dengan cara bersedia melakukan apapun yang telah menjadi titah mereka.
Ibrahim as diangkat Tuhan sebagai salah satu nabi teragung (ulul azmi), dengan gelar “khalilullah” (kekasih Allah), juga sebagai “abul anbiya” (bapak para nabi) dan juga “imam umat manusia” (QS. Al-Baqarah: 124), karena ia telah lulus ujian cinta kepada Allah. Ia mau membunuh anaknya untuk Allah. Karena pada prinsipnya memang tak ada yang lebih kita cintai di dunia ini selain anak kita sendiri. Tetapi Ibrahim sanggup mengorbankan cinta yang besar kepada anaknya hanya untuk sebuah cinta dari Tuhannya.
Tetapi proses pembunuhan ini tidak terjadi, karena Tuhan punya rencana tersendiri. Sebagaimana juga dalam kasus Rasulullah saaw diawal tadi, pembunuhan tersebut tidak terjadi. Karena ketika pemuda tersebut meninggalkan masjid untuk melaksanakan perintah Nabi saaw untuk membunuh ibunya, Nabi saaw menyuruh salah satu sahabatnya untuk mengejar pemuda tadi untuk kembali ke masjid dan menyampaikan pembatalan perintahnya.
Pada akhirnya Rasul saaw mengklarifikasi kepada semua jamaah, “Aku tidak diutus ke muka bumi untuk memerintah kalian melakukan perbuatan keji.” Apa yang dilakukannya tadi hanya untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintainya. Karena ayat mengatakan, tidak beriman kalian sebelum kalian benar-benar diuji (QS. Al-Ankabut: 2-3).
*****
Tinggi sekali pesan cinta dalam kisah pemuda tadi. Demikian pula dalam kasus Ibrahim as, drama penyembelihan Ismail anaknya adalah sebuah ilustrasi dari Islam sebagai “agama cinta.” Kita tidak disebut mencintai Tuhan ketika belum bersedia mengorbankan hal-hal yang paling kita cintai di dunia ini demi Tuhan dan Rasul kita.
Tapi kacau juga kita ini, jangankan mengorbankan anak atau ibu sendiri (era mengorbankan manusia sebagai sesembahan memang sudah lewat), mengorbankan satu kambing atau sapi saja kita ragu bahkan tidak mau melakukannya pada setiap Idul Adha.
Pada hakikatnya kurban bukanlah membunuh hewan-hewan tersebut. Melainkan membunuh sifat kikir, ego dan keangkuhan yang bersemayam dalam setiap diri kita. Orang-orang ikhlas adalah mereka yang berani membunuh semua sifat kebinatangan itu. Keikhlasan inilah yang diterima, bukan binatang ataupun darah yang mengalir darinya.
Pada hakikatnya, kurban bukanlah membunuh hewan-hewan tersebut. Melainkan ‘membunuh’ diri kita sendiri. Yaitu membunuh sifat kikir, ego dan keangkuhan yang bersemayam dalam setiap diri kita. Kita harus membunuh semua cinta dunia yang menghalangi kita untuk mencintai Tuhan. Inilah makna sebuah hadist , “Matilah sebelum engkau mati” (mutu qabla an tamutu).
Orang-orang ikhlas yang larut dalam takbir dan ibadah adalah mereka yang berani bersikap untuk membunuh semua sifat dari dunia kebinatangan itu. Keikhlasan inilah yang diterima saat kita berqurban, bukan binatang ataupun darah yang mengalir darinya.
source: saidmuniruddin.com
No comments:
Post a Comment