Tuesday, October 25, 2016

[Cerpen] Bagaimana Aku Bisa Membayangkan Perempuan Lain?

PAGI belum menguning, seperti biasanya kegiatan di rumah mungil itu sudah berlangsung. Atikah kecil masih pulas di pulau kapuknya, sedang sang ibu sudah berjibaku dengan tugas rumah tangga.

Kain sudah diputar di mesin cuci, ruang tamu dan keluarga telah tertata rapi. Kini Aisyah tengah sibuk menyiapkan sarapan, sembari mendengarkan murottal di televisi. Sesekali bibirnya ikut melantunkan ayat suci Al-Qur’an, meski berpeluh ia tetap merasa senang dengan kesehariannya.

“Pagi Abi, pagi my little princes!” sapanya, menyambut sang suami dan si buah hati. Senyum mengembang di wajahnya.

Begitulah cara sederhana seorang Aisyah berbakti pada suaminya. Menyajikan makanan yang diracik dengan bumbu cinta, juga segelas teh yang diseduh sepenuh hati.

Aisyah selalu berusaha cekatan, setiap kali suaminya hendak menyantap sarapan, perempuan berkulit sawo matang itu mengambil Atikah dari suaminya. Dengan segera ia memandikan si kecil dan memakaikan pakaian yang cantik untuknya. Setelahnya ia pun menemani sang suami di meja makan.

“Nasi goreng Umi enak.” Seru Fahri di sela mengunyah makanan. Pipi Aisyah memerah seketika, ia merasa bahagia dengan pujian suaminya. Padahal ia hanya memasak dengan resep biasa. Pikirnya. Mungkin cinta yang menjadikannya luar biasa. Hihihi … Aisyah terkikik dalam hati.

“Alhamdulillah, kalau begitu dihabiskan ya, Abi …”

Fahri mengangguk, “Dengan senang hati.” Sahutnya. Aisyah tertawa geli melihat tingkah suaminya.

Pernikahan mereka baru berjalan dua tahun. Berawal dari pertemuan tanpa sengaja di halte bus kala itu. Fahri jatuh hati pada Aisah yang berpenampilan syar’i. tidak sedikit pun dari auratnya yang tak tertutup. Bahkan wajahnya. Dengan sengaja melupakan tujuannya semula, Fahri mengikuti ke mana gadis itu melangkah, hingga tahulah ia di mana Aisyah bertempat tinggal.

Tanpa menunggu lama, Fahri nekad datang untuk menanyakan status Aisyah. Perempuan yang menggetarkan hatinya. Saat tahu Aisyah belum menikah, dengan segera ia menyampaikan lamaran kepada orang tuanya.

Keluarga Fahri sempat kaget dan hendak menentang, namun lelaki itu berhasil meyakinkan. “Bagaimana pun dia aslinya, biar itu menjadi urusan saya. Karena nanti dia adalah istri saya.”

Fahri benar-benar yakin atas pilihannya. Perempuan bercadar itu pasti akan membuatnya bahagia. Bismillah … ucapnya sebelum memantapkan keputusan.

Aisyah yang tercatat sebagai mahasantri, juga menyambi sebagai pendidik di salah satu yayasan islam itu tak merasa berat meninggalkan segala rutinitasnya setelah menikah. Menemukan pendamping yang shalih merupakan anugerah, dan berbakti pada sang suami adalah langkah menuju jalan-jalan Surga.

“Aku ikhlas, Mas. Bila memang Mas mau aku meninggalkan studi-ku juga tugasku sebagai pengajar. Insya Allah, aku akan sepenuhnya berbakti padamu. Ridho Allah, ada pada keridhoanmu.” Lirihnya. Aisyah mengecup punggung tangan Fahri untuk pertama kalinya.

Fahri menahan debaran di dadanya yang begitu hebat. Saat tangannya perlahan melepas ikatan cadar istrinya.

“Subhanallah …”

Lelaki itu terhenyak melihat wajah sang istri yang tak lagi tertutupi.

Aisyah tersenyum, ia pun rupanya menahan debaran yang tak kalah hebatnya.

Sesaat mereka berpandangan, sebelum kemudian Fahri mengecup keningnya untuk pertama kali dan memeluknya.

“Kita sudah menikah, setelah ini apa kamu bersedia untuk selalu memakai cadar itu?” tanya Fahri suatu malam.

“Tentu, Mas. Aku bersedia.” Sahut Aisyah mantap.

“Boleh aku tahu alasannya apa?”

Aisyah menatap suaminya, lagi-lagi dada mereka sama bergetar hebat saat berpandangan.

“Sebelum menikah, aku mengenakannya karena ingin bertakwa pada Allah. Setelah menikah, aku akan tetap mengenakannya karena aku ingin bertakwa pada-Nya dan berbakti padamu.”

Fahri takjub. Darahnya mendesir seketika. Indah sekali penuturan Aisyah di telinganya. Kini ia merasa telah menjadi lelaki yang paling kaya. Karena telah memiliki seindah-indahnya perhiasan dunia, yaitu istri shaliha.

Dunia lelaki tidak sama dengan dunia perempuan. Saat tidak di rumah, ada begitu banyak godaan yang bisa menggoyahkan iman. Godaan terparah adalah bertebarannya perempuan-perempuan cantik yang berpakain minim dan berpenampilan mencolok di mana-mana. Seharian di luar rumah merupakan ujian terberat bagi seorang suami.

Miskinnya iman dan takwa pada Sang Pencipta, bisa memudahkan seorang lelaki untuk menghibur dirinya dengan perempuan-perempuan di luaran. ‘kan istriku di rumah, tidak tahu juga dia. Ah, mumpung ada yang cantik, lumayanlah! Begitulah mungkin isi pikiran lelaki yang tak tahan akan fitnah wanita di luar rumah.

Begitu pula dengan Fahri, ia pun lelaki normal yang tentu memiliki syahwat bila suatu ketika melihat wanita cantik di tempat kerjanya. Namun Fahri berupaya keras dengan senantiasa merapal zikir untuk menjaga dirinya. Ia akan selalu mengingat Aisyah dan putrinya bila terpojok pada keadaan yang memungkinkan untuk khilaf.

“Allahuma anjirna min fitnatin nissa …*” batin Fahri.

Konsekuensi bekerja di sebuah perkantoran tentu tak sedikit. Mulai dari bergaul dengan karyawan wanita, atau memiliki rekan seprofesi yang gila wanita. Sungguh, ia ingin mencari pekerjaan di tempat lain atau membuka usaha sendiri demi membatasi interaksi dengan wanita-wanita itu. Lirihnya.

“Fahri, ada karyawan baru lho. Masih single, cakep banget.” Seru salah satu rekan kerjanya.

“Enak aja, itu bagian gue tahu!” celetuk yang lainnya.

Fahri hanya mampu memperbanyak istighfar dalam hati. Reaksinya hanya diam dengan sesabit senyuman. Tangan dan pikirannya tetap fokus pada pekerjaan.

Ketika masih melajang, menundukkan pandangan adalah hal yang cukup sulit bagi seorang lelaki. Apalagi hampir setiap saat bertemu dengan wanita cantik dan seksi. Setelah menikah rupanya hal itu menjadi lebih sulit lagi. Karena lelaki tentunya memiliki cela untuk membandingkan kecantikan istrinya dengan wanita di luar sana. Sedapat mungkin Fahri tidak menatap wanita itu secara langsung dan berlama-lama. Ia hanya akan memandang jika keadaan mendesak. Dengan selalu meminta perlindungan pada Allah.

Terkadang, ia merasa bersalah terhadap Aisyah. Fahri akan selalu menyesali dirinya yang tak mampu setakwa sang istri dalam menjaga diri dan pandangan.

Pernikahan memang suatu jalan yang indah menuju Surga. Namun, bagi seorang suami ada banyak sekali hal yang memungkinkannya untuk terpeleset ke jalan Neraka. Maka beruntunglah bagi suami-suami yang mampu bertakwa dalam menjaga pernikahannya.

***

“Mengurus anak lumayan repot ya, Mi?”

Aisyah tersenyum, “Ya repotlah, Bi.”

“Ummi capek ya? Apa Ummi butuh seorang pembantu?” Fahri menatap istrinya yang tengah menidurkan Atikah.

“Enggak, Bi. Insya Allah, Ummi sanggup mengerjakan semuanya sendiri.”

“Tapi kasihan Ummi.” Sela Fahri khawatir.

Aisyah bangkit dan melangkah mendekati Fahri.

“Rumah adalah ladang pahala bagi seorang istri. Bagaimana mungkin Ummi menyerahkannya pada pembantu?” Aisyah menggelayut di lengan suaminya.

Fahri tersenyum. Ah, bagaimana mungkin aku sanggup bersenang-senang di luar sana dengan memandang wanita lain? Sementara istriku selalu menanggung lelah dan repotnya mengurus rumah dan anakku? Sungguh zalimnya aku bila sampai melakukan itu. Lirihnya membatin. Fahri memeluk Aisyah. Dari ambang pintu mereka menatap Atikah yang sudah pulas dengan memeluk boneka kesayangannya. []

*Ya Allah selamatkan kami dari fitnah perempuan.

Penulis : Rini Nurmala Sari (Kandis, Riau)
Email : rininurmalasari@yahoo.co.id

source: islampos.com

No comments:

Post a Comment