Sunday, November 6, 2016

Irak Punya Peran Penting dalam Produksi Manuskrip Islam

Meski berpindah dari pemimpin satu ke pemimpin lain, Irak tetaplah bagian penting dari sejarah peradaban Islam. Kota-kota di Irak pernah menjadi pusat ilmu dan pemerintahan khalifah meski diwarnai pula dengan aneka pertempuran dan perang.


Pada awal milenium ini, Irak harus berhadapan dengan serangan Barat yang tak hanya menghilangkan banyak nyawa, tapi juga peninggalan sejarah termasuk sejarah Islam. Keprihatinan terhadap manuskrip yang entah seperti apa kondisinya pascainvasi Amerika Serikat (AS) ke Irak, membuat Geoffrey Roper menuliskannya secara khusus dalam tulisan The Fate of Manuscripts in Iraq and Elsewhere yang dimuat laman Muslim Heritage.

Pada periode awal Islam, kata Roper, Irak punya peran penting dalam produksi naskah keilmuan. Kota Kufa yang sempat menjadi ibu kota kekhalifahan kala itu, pada 17 Hijriyah atau 638 Masehi, menjadi pusat menulis para alim. Bahkah istilah Kufic yang menjadi salah satu gaya penulisan huruf Alquran diambil dari nama kota itu.

Kota Basra juga sempat menjadi 'kembang' pada era literatur prosa Arab dan menjadi kota kelahiran penulisan gramatikal Arab serta pusat perkembangan puisi era Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah. Perpustakaan penting bermunculan kemudian.

Baghdad, Pusat Literatur Islam



Di antara banyak kota di Irak, Baghdad adalah yang terpenting bagi perkembangan literatur Islam setelah selama empat abad menjadi ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah. Setidaknya ada 4.300 karya yang beredar di sana pada abad ke-10 dengan spektrum tema yang luas, dari filosofi hingga sains.

Karya-karya para penulis Islam itu kemudian disimpan di berbagai perpustaan publik. Ada pula yang tersimpan di perpustakaan pribadi yang terbuka untuk publik.

Baghdad mulanya merupakan ceruk ilmu yang seakan tiada habisnya. Hingga pada 1258 Masehi, datanglah peristiwa yang dianggap bencana besar bagi peradaban Muslim dan budaya ilmu Islam. Bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulegu Khan menaklukan Baghdad. Tak hanya memenggal khalifah dan sebagain besar Muslim di sana, menurut Ibnu Khaldun, pasukan ini juga membuang karya para ulama ke Sungai Tigris.

Dengan segala yang tersisa setelahnya, manuskrip tetap ditulis dan perpustakaan tetap bertahan. Kondisi kemudian berubah saat para pemimpin Mongol menjadi Muslim, mereka menjadi penjamin akan kerberlangsungan tradisi ilmu ini meski tak sejaya pada masa lalu. Pada abad ke-14, manuskrip sains dan mushaf Alquran kembali diproduksi.

Manuskrip yang Tersebar



Setelah Turki Utsmani menaklukkan Irak pada 1534, manuskrip-manuskrip para ulama dipindahkan ke Istanbul. Sejumlah naskah sejarah lokal Baghdad dalam bahasa Arab dan Turki yang ditulis pada abad ke-17, 18, dan 19 kini terpencar di London, Berlin, New York, Kazan, Istanbul, Kairo, Makkah, dan Madinah meski sebagiannya masih tertinggal di Irak. 

Pada abad ke-19, Eropa mulai serius memerhatikan Irak atau mereka menyebutnya Mesopotamia. Sejumlah benda kuno termasuk manuskrip dipindahkan ke Eropa untuk menjadi koleksi privat maupun publik.

Seorang residen dari Inggris yang ditempatkan di Irak pada 1808 Masehi, Claudius James Rich, sempat berkeliling Irak dan mengumpulkan 1.000 manuskrip dalam bahasa Arab, Persia, Turki, dan Suriah. Ia kemudian ditarik kembali ke Inggris pada 1821.

Setelah Rich meninggal, semua koleksi itu dibeli British Museum sebagai koleksi perpustakaan yang kini menjadi British Library. Ironisnya, Pemerintah Inggris menyetop pemulangan kembali koleksi milik Rich tersebut agar bisa dipertahankan menjadi milik British Library. Ada pula potongan karya dan manuskrip yang menjadi koleksi para miliarder.

Proses ini memang memiliki plus dan minus. Di satu sisi, Irak dan negara-negara Arab serta Muslim kehilangan sumber sejarah dan literatur mereka. Di sisi lain, manuskrip serta aneka peninggalan sejarah lainnya tersebut akan terjaga baik, jauh dari potensi perusakan yang mungkin terjadi bila masih berada di negara asalnya. Selain itu, lebih sulit bagi para peneliti untuk mengakses manuskrip ini di perpustakaan Irak.

Apa yang dikoleksi Rich pun sebenarnya tak hanya karya para ilmuwan Muslim, ada pula karya para ilmuwan Kristen yang ditulis di bidang sains dan agama. Karya-karya ini ditulis dalam bahasa Suriah, Arab, dan Armenia.

Museum Nasional Irak



Pada 1920-an, ilmuwan Kristen asal Irak, Alphonse Mingana dan Edward Cadbury, mengumpulkan manuskrip dari Irak. Semua karya itu kini tersimpan di Universitas Birmingham.

Meski begitu, puluhan ribu manuskrip masih tersisa di Irak. Setelah Irak menjadi sebuah negara pada abad ke-20, pengumpulan manuskrip ini dimulai.

Pada 1923, sebuah museum nasional didirikan di Baghdad dan gedung permanennya mulai berdiri pada 1926. Museum nasional ini menjadi pusat koleksi manuskrip nasional Irak hingga akhirnya didirikan perpustakaan manuskrip nasional Irak pada 1988.

Pada 1928, Public Awqaf Library membentuk sembilan kelompok koleksi manuskrip yang diserahkan sukarela dari para pemegangnya. Manuskrip ini berasal dari era Turki Utsmani dan abad-abad setelahnya. Perpustakaan publik dan akademik lain yang tersebar di Irak juga turut menampung koleksi manuskrip bersejarah ini. Pada paruh kedua abad 20, mayoritas bangsa Arab dan negara-negara Islam juga mengoordinasikan pengumpulan manuskrip bersejarah semacam ini.


source: republika.co.id

No comments:

Post a Comment