Ada sebuah cerita tentang seorang penjaga gawang yang mabuk berat. Kamarnya berantakan, dia teler, benar-benar seperti pemabuk di jalanan. Presiden klub memergokinya. Keesokan hari, sang presiden menjual si pemain ke klub lain.
Kejadiannya sudah lama, musim panas 1996. Presiden itu adalah Antonio Pimenta Machado, pemimpin Vitoria Guimaraes. Kiper itu bernama Nuno Espirito Santo.
Ya, dia penjaga gawang cadangan FC Porto peraih gelar Piala UEFA dan Liga Champions bersama Jose Mourinho, yang kini banting setir menjadi pelatih, sempat membesut Valencia, dan sekarang di belakang kemudi FC Porto.
Yang saat itu Machado tak tahu, dan sekarang mungkin saja sudah tahu, bahwa kelakuan Nuno muda ketika itu adalah sebuah akting!
Konon, Machado berjanji kepada Nuno muda. Kalau ada klub yang mau mengeluarkan 1 juta euro untuknya, dia akan dijual.
Klub Spanyol, Deportivo La Coruna, berminat. Nuno menemui Machado, tetapi sang presiden ingkar janji. "Sekarang, minimal 5 juta!" katanya.
Nuno kesal. Ia curhat kepada agennya. Sang agen yang merencanakan skenario epik, rencana mabuk tersebut.
Dia juga yang bikin kamar Nuno berantakan. Nuno menurut. Hasilnya luar biasa tokcer. Machado percaya akting Nuno, besoknya Nuno dijual ke Deportivo!
Agen Nuno tersebut bernama Jorge Mendes. Itulah transaksi pemain pertama yang ia lakukan di industri ini.
Nuno adalah klien perdana Mendes, yang dulu bekerja sebagai pemilik toko rental video dan disko.
Sekarang? Mendes jelas salah satu pria paling berpengaruh di sepak bola. Ia pemilik Gestifute, perusahaan representasi pemain-pemain top dunia seperti James Rodriguez, Radamel Falcao, Diego Costa, Cristiano Ronaldo, sampai bos Man. United, Jose Mourinho.
Apa yang diperlihatkan Mendes dan Nuno di awal kariernya menunjukkan sepintas betapa besarnya peran seorang agen terhadap masa depan si pemain.
Kontribusi agen menjadi begitu vital. Mereka seperti punya kuasa menyetir keinginan si pemain, walau kadang tak selalu sejalan dengan keinginan klub, pelatih, atau bahkan fans.
Banyak pelaku industri sepak bola yang kerap dikutip mengaku tak suka dengan agen pemain. Ada yang bilang mereka terlalu ikut campur.
Salah satu contoh paling aktual jelas perseteruan bos Manchester City, Pep Guardiola, dengan agen Yaya Toure, Dimitri Seluk. Orang Ukraina ini bukan sembarang agen.
Yaya menyebutnya ‘papushka’, ayah kedua. Yaya menamai anak pertamanya dengan nama si agen, bukti bahwa dia menjadi jembatan karier brilian Toure dalam 15 tahun terakhir.
Wajar ketika Guardiola memutuskan buat melupakan nama Toure dari daftar skuat City di Liga Champion, Papushka marah besar.
Dia menyudutkan Guardiola, dan sebagai balasannya pelatih Spanyol itu tak akan memainkan Toure sampai Seluk meminta maaf, sesuatu yang tak ia lakukan sampai sekarang.
Walah, omongan Guardiola menjadi kenyataan. Musim hampir seperempat berjalan, Toure tak pernah bermain. Gawatnya lagi, publik kini melupakan Toure.
Man City era Guardiola baik-baik saja, bahkan bermain lebih menggairahkan, tanpa sang gelandang. Kalau City bersiap menikmati periode terbaiknya di tahun-tahun ke depan, apakah Toure tak ingin menjadi bagian darinya?
Dia sudah tujuh tahun berseragam Manchester Biru, dianggap pemain penting klub itu. Barangkali kalau bisa tahu isi hatinya, dia juga ingin menjadi bagian kesuksesan City di sisa karier profesionalnya.
Malah lebih jauh lagi, Toure mungkin saja bisa bergabung bareng tim, kembali ke Camp Nou, bereuni juga, ke klub yang turut membesarkan namanya di jagat sepak bola: Barcelona.
Sulit dimungkiri, Barcelona adalah sekolah tempat Toure berguru dan membesarkan namanya, menjadi gelandang komplet peraih treble 2008-2009 di bawah Guardiola juga.
Sekarang, boro-boro bereuni di Barcelona, bermain di Etihad saja sulit. Di situ barangkali Yaya merasa sedih. Bisa jadi juga tidak.
Toh, dia juga ‘didepak’ Guardiola, dengan mempromosikan bocah akademi bernama Sergio Busquets di tim utama Barca. Kelak, alias saat ini, Busquets menjadi sosok yang tak bisa dicari gantinya.
Dengan kata lain, keputusan Pep ketika itu dianggap sangat tepat. Wajar kalau saat ini pro-Pep lebih banyak ketimbang pro-Yaya, apalagi pro-Seluk.
Pengalaman Pep membuang pemain bintang berujung kepada kesuksesan yang lebih besar.
Fan dan petinggi City mungkin menyayangkan keputusan Pep soal Yaya, tetapi mereka tutup mata, demi kepentingan yang lebih mulia, kejayaan City di masa depan.
Kalau demi mewujudkan itu mereka harus mengorbankan seorang Yaya, yaaa... bisa saja dilakukan.
Yaya jadi korban, tetapi bukan karena apa yang dia lakukan, melainkan lantaran perseteruan 'ayah kedua' dengan ‘ayah pertama’ di City: Guardiola. Tak adil, memang. Tetapi, yaaa.
sumber: juara.net/kolom
No comments:
Post a Comment