Kostum bernomor punggung enam takkan pernah dijumpai lagi di AC Milan karena sudah dipensiunkan. Pemain terakhir yang mengenakan kostum tersebut adalah Franco Baresi, yang sudah menjadi legenda klub merah-hitam tersebut.
Bukan tanpa alasan Rossoneri, demikian sebutan klub yang bermarkas di San Siro tersebut, memberikan penghargaan kepada Baresi. Loyalitas sang libero membuat dia layak mendapat penghormatan itu karena sepanjang kariernya, Baresi tak pernah pindah klub.
Ya, sejak melakukan debutnya di Serie A ketika berusia 17 tahun, tepatnya pada musim 1977-1978, Baresi tidak pernah pindah markas. Dia tetap setia mengenakan seragam hitam-merah yang merupakan warna kebesaran Milan.
Meskipun demikian, awal kisah perjalanan hebat karier Baresi ini dimulai dari rival sekota Milan, Inter Milan. Pria kelahiran Travaglito, tepatnya kota Lombardy, yang jarak tempuhnya sekitar satu jam dari Milan, sempat mencoba peruntungannya bersama Nerazzurri, julukan Inter, ketika dirinya masih berusia 14 tahun.
Sayang, Inter tak tertarik menggaet Baresi, karena klub biru-hitam ini memilih saudara Baresi, Giuseppe Baresi, yang usianya dua tahun lebih tua. Berkat bujukan pelatih, Baresi berbelok haluan ke Milan hingga kemudian menyebut dirinya seorang Milanista sejati.
"Saudaraku sudah bersama Inter, dia lebih tua dariku. Saya ingin mengikutinya sehingga harus lebih dulu mengikuti trial di Inter. Kemudian mereka berkata, 'Kamu bisa kembali tahun depan'. Pelatihku membawa saya ke Milan dan di sana saya diterima, meskipun harus menjalani serangkaian uji coba," ujar Baresi.
Benar saja, peruntungan Baresi bersama Milan sangat bagus. Semusim setelah melakukan debutnya, pria kelahiran 8 Mei 1960 ini langsung menembus skuat utama dan berhasil merengkuh gelar Serie A 1978-1979. Kala itu Baresi bermain sebagai libero, posisi yang digelutinya selama dua dekade.
Kesuksesan Baresi ini dalam waktu singkat diikuti periode kelam dalam sejarah Milan, ketika klub tersebut degradasi ke Serie B sebanyak dua kali pada awal 1980-an. Rossoneri turun kasta pada 1980 karena terlibat dalam skandal match fixing alias pengaturan skor dan kembali ke level serupa pada musim 1981-1982 karena finis di posisi ketiga dari bawah.
Dalam kondisi terpuruk ini, Baresi, yang kehilangan ayahnya karena meninggal dunia ketika dirinya berusia 16 tahun, tidak berpaling ke klub lain. Padahal, dengan skill yang sangat mumpuni, bukan hal yang sulit baginya mendapatkan klub-klub elite Eropa.
"Saya selalu merupakan seorang Milanista. Merupakan sebuah keuntungan yang besar bagi saya selalu bermain untuk Milan," demikian pernyataan Baresi.
Setelah dua kali membawa Milan menjuarai Serie B (1980-1981 dan 1982-1983) dan klub tersebut kembali ke Serie A, Baresi, yang kala itu berusia 22 tahun, ditunjuk menjadi kapten. Status skipper disandangnya setelah Aldo Maldera dan Fulvio Collovati meninggalkan klub pada 1982. Sejak saat itu, ban kapten selalu melingkar di lengannya dan dia menjadi simbol serta pemimpin tim.
"Saya tidak masalah menjadi kapten. Merupakan hal yang tidak biasa menjadi kapten begitu cepat, tetapi situasinya pun tidak biasa. Pada 1982 Milan degradasi ke Serie B sehingga mereka menunjuk saya menjadi kapten. Mereka ingin membangun kembali tim," ujar Baresi.
Menjadi pemimpin pada usia muda, Baresi kemudian diberi julukan Piscinin, yang berarti Little One alias Si Kecil. Tetapi di balik julukannya yang sangat "manis", Baresi ternyata merupakan pemain yang sangat tangguh, terutama ketika menghalau laju serangan lawan.
"Saya pikir titik kekuatanku bukan fisikku. Saya pemain yang cukup cepat, tetapi lebih dari semua itu, saya lebih cepat di sini, di kepala. Itu yang banyak membantuku. Itu hal yang alami. Tentu saja anda bisa memperbaikinya, anda bisa meningkatkannya dengan pengalaman, tetapi itu merupakan pemberian alami," ujar Baresi soal kemampuannya.
Meskipun demikian, partner sejatinya di lini belakang, Paolo Maldini, tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan Baresi. Pemain kidal yang kemudian mewarisi ban kapten Baresi ini menyebut tandemnya itu adalah libero sejati.
"Dia tidak seperti Jaap Stam, pemain bertubuh besar yang kuat dan cepat. Dia memiliki kecepatan tetapi beratnya hanya 70 kilogram. Tetapi perlu saya katakan kepada anda bahwa ketika dia menghentikan anda dengan sebuah tekel, dia begitu kuat," ujar pemilik nomor punggung tiga ini.
Dalam perjalanan kariernya, julukan Si Kecil mulai ditinggal. Lantaran skill dan kesuksesannya, Baresi pun disejajarkan dengan legenda sepak bola Jerman, Franz Beckenbauer, sehingga kemudian dia mendapat julukan baru "Kaiser Franz".
Tak heran jika Maldini menjadikan Baresi sebagai model seorang bek. Ini karena ketenangan dan kinerja Baresi di atas lapangan hijau. Fisiknya yang tidak terlalu ideal tak menjadi penghalang untuk menjadi libero berkarisma.
"Dia pendek, kurus tetapi sangat kuat. Dia bisa melompat begitu tinggi. Cara dia bermain di lapangan merupakan contoh bagi semua orang. Dia bukan seorang yang hanya omong besar, tidak, tidak, tidak. Cara dia bermain, cara dia berlatih menjadi contoh. Bagi saya, dia merupakan tokoh panutan. Dia menjadi referensi. Dia juga sangat bagus dengan bola. Sangat sulit menemukan seorang bek yang bagus, yang kuat dan bagus dengan bola. Sangat sulit," ujar Maldini.
"Gagal" di Level Internasional
Sepanjang kariernya, Baresi menorehkan kesuksesan besar bersama Milan. Dia mampu meraih dua gelar Piala Interkontinental, 3 trofi Liga Champions, 3 Piala Super Eropa, 6 Scudetto dan 4 Piala Super Italia.
Namun di level internasional, prestasi Baresi tidak terlalu cemerlang lantaran tak pernah merengkuh gelar juara bersama Azzurri alias tim nasional Italia. Dia hanya nyaris membawa Italia menjadi juara Piala Dunia 1994, tetapi ambisi itu gagal terwujud karena pada final kalah adu penalti melawan Brasil.
Dalam perjalanan selama event tersebut yang berlangsung di Amerika Serikat, Baresi sempat cedera karena mengalami robek pada meniskus. Meskipun demikian, Italia bisa melangkah ke fase gugur dengan status peringkat ketiga terbaik Grup E, mendampingi Meksiko dan Irlandia.
Italia berhasil mengalahkan Nigeria 2-1 pada babak 16 besar, kemudian menyingkirkan Spanyol dengan skor 2-1 dan menaklukkan Bulgaria 2-1 pada babak semifinal untuk bertemu Brasil pada partai puncak. Saat melawan Brasil, Baresi sudah kembali bemain setelah istirahat selama 25 hari.
Selama 90 menit waktu normal plus perpanjangan waktu, Baresi mampu menjaga pertahanan Italia dari gempuran para pemain Brasil sehingga kedudukan tetap imbang tanpa gol. Alhasil, juara turnamen tersebut harus ditentukan lewat adu penalti. Dalam drama ini, Baresi termasuk pemain yang gagal mencetak gol, bersama dengan Roberto Baggio dan Daniele Massaro, sehingga Brasil menang 3-2.
Sebenarnya, Baresi pernah merasakan gelar juara Piala Dunia 1982 yang diselenggarakan di Spanyol. Tetapi, selama event tersebut Baresi hanya menjadi penghangat bangku cadangan lantaran tidak pernah mendapat kesempatan bermain.
Lama malang-melintang di pentas sepak bola dunia, Baresi memutuskan pensiun pada usia 37 tahun. Dia gantung sepatu pada akhir musim 1996-1997. Selama itu, Baresi mencetak 31 gol bagi Milan, 21 di antaranya melalui titik penalti.
"Sulit untuk pensiun, tetapi pada musim terakhir itu saya banyak mengalami cedera dan tidak bisa berlatih dengan benar, sehingga mulai muncul keinginan untuk pensiun. Kemudian, setelah 27 tahun bermain, saya kira inilah saatnya," ujar Baresi soal keputusannya tersebut.
Pensiun bukan berarti Baresi benar-benar hilang dari pentas sepak bola. Pada Juni 2002, dia ditunjuk menjadi direktur sepak bola klub Inggris, Fulham, untuk bekerja sama dengan manajer Jean Tigana. Sayang, keberadaannya di London Barat itu tidak berlangsung lama karena pada bulan Agustus dia mengundurkan diri.
Dari Fulham, Baresi mendapat kesempatan menangani tim Milan Primavera (U-20) selama empat tahun hingga 2006. Setelah itu, dia ditunjuk melatih tim Berretti (Milan U-19). Lagi-lagi, keberadaannya sebagai pelatih hanya sebentar karena pada 2008 Baresi memutuskan untuk pensiun sebagai pelatih.
sumber: juara.net/sosok
No comments:
Post a Comment