Tuesday, November 15, 2016

"Agama Cinta"

Bismillahirrahmanirrahiem. Islam adalah agama “basmallah”, agama yang bermula dari dua Asma terindah: “Rahman” dan “Rahiem”. Inilah agama kita, agama kasih sayang: “Agama Cinta”!

“Cinta” termasuk tema tertua yang pernah ada di muka bumi. Filsuf Yunani kuno sekelas Empedokles sekalipun (490-430 SM), percaya jika alam semesta ini eksis dan teratur karena energi cinta. Islam punya pandangan serupa, bahwa jagat raya memperoleh wujudnya karena cinta Tuhan kepada kekasih-Nya. Laulaka laulaka, ya Muhammad, ma khalaqtu aflak: “Seandainya bukan karena engkau, ya Muhammad, maka Aku tidak akan menciptakan alam semesta,” Hadist Qudsi.

Demikian. Tak ada sesuatu yang terjadi, kecuali atas dorongan cinta. Tak ada sesuatu yang lebih menggairahkan kita, selain sesuatu yang kita lakukan karena rasa suka, karena cinta. Bahkan hampir tak ada lagu, film, sinetron, dan cerita; yang kesemua lirik dan aksinya tidak dilatarbelakangi oleh cinta.

Jelas. Alam semesta, termasuk manusia, adalah makhluk yang wujud karena cinta. Bahkan lebih dari itu, perjalanan sesungguhnya manusia adalah penapakan dari satu bentuk cinta ke bentuk cinta yang lain. Semua berawal dari cinta dan akan berakhir kepada Cinta. Manusia terus mengalami proses transformasi diri, dari “cinta” (dengan “c” kecil), menuju “Cinta” (dengan “C” besar).

Sepintas saya setuju dengan filsuf naturalis Inggris Charles Darwin (1809-1882 M) yang menyebutkan bahwa kita mengalami evolusi bentuk, dari “monyet” menjadi “manusia.” Tapi tidak dalam pengertian fisik. Melainkan saya meyakininya dalam makna spiritual. Kita berevolusi dari wujud makhluk biologis dengan kadar cinta sekelas “monyet”, menjadi insan kamil dengan kadar cinta berdimensi “ilahiah.”

Artinya, pada level terendah wujud kebinatangan kita, tema-tema cinta hanya berputar pada konsep “aku” (“a” kecil, yaitu ego). Sedangkan pada puncak evolusi, tema-tema ini telah berubah menjadi cerita tentang “Aku” (Tuhan). Dengan kata lain, kesadaran manusia berkembang dari being (sekedar ada) ke becoming (menyempurna). Evolusi kesempurnaan cinta bergerak dalam pola fikir: “aku” -> “kami -> “kita” -> “DIA”. Dalam bahasa yang lebih institusional, cinta secara bertahap berevolusi dalam model: autocracy -> aristocracy -> democracy -> theocracy.

Wujud Terendah dari Cinta: “Autocratic Form of Love.”

Pada tahap terendah dari kualitas kemanusiaan, kita hidup hanya untuk kepentingan diri sendiri. Dapat dikatakan, ini adalah cinta dalam bentuk autokrasi. Semua berpusat pada diri “aku” seorang. Semuanya tentang “aku” dan “apa untungnya bagiku.” Semuanya tentang perutku, jabatanku, dan ketenaranku. Kita bersedia melakukan sesuatu hanya karena adanya motif personal interest. Seorang psikolog kenamaan Amerika, Abraham Maslow (1908-1970 M), menyebut ini sebagai motif terbawah dalam piramida “hirarki kebutuhan” (The Hierarchy of Needs). Semua nafsu terendah dari fungsi biologis kebinatangan kita berada disini.

Memang sangat penting bagi kita untuk survive dengan berjuang untuk memperoleh makan, minum, menyalurkan insting sex dan berbagai kebutuhan fisik dan sensasi inderawi lainnya. Namun mendedikasikan hidup hanya untuk tujuan-tujuan ini tidak akan pernah membuat kita lebih baik dari binatang. Inilah bentuk “aku” paling buruk. Saya tidak menyebut ini sebagai “our origin” (bentuk asli kita), melainkan sebagai bentuk “cinta” yang terendah. Kalau meminjam istilah Darwin, ini disebut: “wujud kita dalam bentuk monyet.” Dalam bahasa agama disebut “cinta dunia.” Kita bertujuan hidup, bahkan siap mati (survival of the fittest) dalam kompetisi harta, pangkat, dan jabatan ini. Sehingga menjadi takut mati untuk hal-hal lain yang nilainya lebih tinggi.

Tahap Kedua dari Cinta: “Aristocratic Form of Love.”

Mereka yang punya kesadaran (consciousness) akan bergerak mencari bentuk-bentuk terbaru dari “cinta”. Maka pada perkembangan selanjutnya, mereka mulai berfikir untuk lebih dari sekedar “aku.” Pada bentuk cinta yang lebih besar muncul dorongan untuk berbagi dalam kelompok kecil. Disini kita membentuk organisasi. Ada beragam bentuk organisasi, mulai dari bentuk keluarga sampai kepada keorganisasian tertentu dalam masyarakat (seperti OKP, Ormas, LSM, partai, dan sebagainya). Salah satu bentuk organisasi yang menjadi fitrah dasar manusia untuk membentuknya adalah keluarga, dimana setiap orang memiliki istri, anak, dan kaum kerabat sebagai anggota.

Pada tahap inilah terbangun konsep “kami”, yang terpisah dari kalian semua. Memang terkesan elit, sehingga cinta disini berwarna aristokrasi. Cinta memang mulai meluas, namun terpusat pada jumlah terbatas. Namun setidaknya sudah terbangun konsep untuk “berbagi.”

Bagi mereka yang tidak berkeluarga, misalnya, akan kesulitan memahami makna hakiki dari “peduli” dan “berbagi.” Makanya, institusi pernikahan disebut sebagai usaha untuk menyempurnakan sisi keagamaan kita. Pernikahan adalah usaha untuk mengeluarkan kita dari kegelapan ego dan kesendirian, menuju cinta yang lebih bermakna. Pernikahan adalah upaya untuk membangun organisasi kecil tempat dimana kita dapat berbagi, membahagiakan sekelompok kecil lainnya. Maka dengan menikah pada saat telah cukup usia menjadi bukti bahwa sebenarnya kita telah berusaha bangkit dari dimensi tersempit dari kemanusiaan kita. Namun ada institusi cinta yang lebih tinggi daripada sekedar membangun keluarga dan organisasi lainnya yang bersifat sempit itu. Dan itu adalah level ketiga dari cinta.

Tahap Ketiga dari Cinta: “Democratic Form of Love.”

Bagi para salik (pencari Cinta), perjalanan belum selesai. Karena tahap selanjutnya adalah mengalami ‘demam cinta’ yang makin menyebar. Jika sebelumnya cinta hanya berlabuh dalam dimensi kecil keluarga, kini telah berkembang dalam konteks sosial yang lebih luas. Ini bentuk murni dari demokrasi, dimana tumbuh kesadaran bahwa segala resources yang kita miliki “berasal dari rakyat dan untuk rakyat.” Pada jenjang ini, terbangun pandangan kalau kita ini “anak umat.”

Maka bisakah kita membawa cinta yang telah terbangun pada level oligarchy kelompok kecil keluarga, untuk memberi manfaat luas bagi masyarakat kita? Bisakah kita bersama anak dan istri, menjadi “partikel-partikel cahaya” yang mampu menerangi bangsa kita? Karena kita bersama keluarga harus mengambil peran untuk menebarkan cinta bagi lingkungan dan komunitas sekitar kita.

Inilah bentuk awal gerakan Nabi SAW. Beliau menginisiasi sebuah model keluarga, satu unit kecil dari dirinya, yang ikut berdiri pada garis terdepan dalam mengajak manusia kepada kebenaran. Rasul SAW dan Ahlul Bait sucinya merupakan sebuah keluarga kecil, sekelompok pejuang awal yang membawa obor bagi umat dan bangsanya. Mereka ini leaders dan juga founding fathers agama terbesar di dunia hari ini. Maka wajar sekali jika kepada mereka ini, 5 kali sehari dalam sholat kita melakukan “hening cipta”, membaca doa dan sholawat: Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala Aali muhammad, “Ya Allah sampaikan shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya.”

Demikianlah, kita semua seharusnya menauladani Nabi SAW dalam memberdayakan anggota keluarga masing-masing, agar menjadi organisasi-organisasi kecil yang ikut memperjuangkan kebaikan, keadilan dan mensejahterakan bagi orang-orang.

Puncak dari Cinta: “Theocratic Form of Love.”

Stasiun tertinggi dari spiritualitas adalah tumbuhnya cara berfikir theocracy. Kita melayani orang-orang bukan lagi karena merasa telah memperoleh mandat dari rakyat, sebagaimana dipahami pada level demokrasi. Disini tumbuh kesadaran tertinggi bahwa kita memimpin karena adanya mandat dari Tuhan, sebagai khalifahnya. Pada tingkatan ini, segalanya adalah tentang Tuhan: “dari Tuhan, oleh Tuhan, untuk Tuhan.”

Puncak evolusi adalah leburnya aku, keluargaku, dan masyarakatku dalam Tuhan. Kita tidak lagi bicara “aku”, “kami”, atau “kita.” Semua energi kita adalah untuk “Dia”. Sehingga, cara berfikir dan bertindak telah menyatu dalam sebuah kerangka universal. Kita tak lagi melihat diri kita sebagai makhluk asing yang tak berguna serta lemah tak berdaya. Tapi kita telah melihat bahwa diri kita adalah spesies-spesies unggul yang dikirim dari langit untuk memakmurkan bumi. Disini kita akan menyadari dimensi kita sebagai “rahmatal lil’alamin“, yang memiliki energi Tuhan untuk membawa perubahan, kebaikan, dan kebahagiaan bagi semua makhluk di semesta alam.

“Rahmatal lil ‘alamin” merupakan maqam Cinta-nya Muhammad SAW. Pada level ini ia telah menjadi tajalli (perwujudan) dari asma Tuhan yang pengasih, yang kasihnya melampaui sekat suku dan agama. Ketika memberi, ia tidak melihat lagi kelompok dan golongan. Ia laksana matahari yang sinarnya menyentuh semua sisi jagat raya tanpa peduli apa suku dan agama mereka. Namun ia juga penyayang, memberi lebih kepada mereka yang mengejar cintanya, tanpa sedikitpun mengurangi hak yang lain. Semoga perjalanan saudara bisa tuntas sampai pada maqam ini, fana dalam ma’rifat-Nya, menjadi muhammad-muhammad baru bagi dunia anda.

Oleh sebab itu, hidup yang benar bukanlah jenis hidup yang mempersempit diri, apalagi memupuk benci. Hidup yang benar adalah yang mengalami “perluasan cinta.” Karena agama kita adalah agama basmallah, agama rahman, agama rahiem: agama “Cinta.” Boleh jadi kita semua Islam, tapi maqamnya beda-beda.


No comments:

Post a Comment