Di Cannes, Prancis, seorang perempuan didenda karena mengenakan burkini, di Aceh sering terjadi razia pakaian ketat dan ada larangan berbikini bagi turis asing. Apakah kedua aturan tersebut sebanding?
Berita tentang seorang perempuan Muslim Prancis bernama Siam yang mengaku didenda dan mengalami perlakuan rasis karena mengenakan burkini di pantai Cannes mengundang perdebatan di media sosial, termasuk di Indonesia.
Di halaman Facebook BBC Indonesia, berita tersebut sedikitnya sudah 259 kali dibagikan, mendapat 245 komentar, dan mendapat 1.600 lebih reaksi.
Siam, wanita itu, menyatakan sedang berjalan-jalan di pantai saat berlibur dengan dua anaknya.
Dia diberitahu oleh tiga polisi bahwa pakaiannya 'tidak sesuai' sementara sekelompok orang berteriak "Pulang ke rumahmu".
"Saya tidak bermaksud untuk berenang, hanya berjalan-jalan dan membasahi kaki saja," kata Siam pada situs web berita L'Obs.
Polisi yang mendekatinya memberitahu Siam bahwa dia bisa tetap berada di pantai jika mengubah jilbabnya menjadi ikat kepala.
"Kata-kata rasis yang dilontarkan sangat membabi buta. Saya tak mampu berbicara apa-apa" kata Siam terhadap orang-orang di sekitarnya yang ikut mengomentari insiden tersebut.
Hanya dalam 24 jam saja, tagar #burkini sudah dicuitkan 77 ribu kali oleh pengguna Twitter dunia.
Para polisi yang mendatangi Siam menerapkan aturan wali kota Cannes, bahwa "setiap orang yang mengenakan pakaian tidak layak yang tidak menghormati moral baik dan sekularisme dilarang berenang dan memasuki kawasan pantai".
Di Facebook BBC Indonesia sendiri, berita ini mengundang berbagai komentar, ada yang menyoroti perlakuan Prancis, seperti Ras Dan Leem yang mengatakan, "Negara yg menjunjung tinggi kebebasan, tapi tidak untuk wanita berhijab ke pantai. Dan orang Indonesia sibuk teriak-teriak. Coba lihat di Waterpark dan pantai-pantai di Indonesia. Jangankan yang pakai hijab, yang gak pakai hijab saja berenang pada pakai kaos dan celana."
Sementara Leny Susanty mempertanyakan aksi polisi Prancis tersebut, "Memangnya tidak boleh ya orang yang berhijab menghabiskan waktunya di pantai itu namanya melanggar. Kalau disana buat yg macam-macam baru boleh ditentang ini cuma mau santai aja dibatasi gerak-geriknya masa kepantai kita harus copot dulu hijabnya udah begitu dipakai lagi. Itu yg comment ikuti aja aturannya itu bukan masalah aturannya tapi itu sudah menyangkut kepercayaan yg dianut. Yak kalau udah berhijab ngga bisalah dilepas begitu aja ada aturan nya dalam agama Islam."
Pernyataan Leny ini senada dengan kutipan dari Siam usai ditegur dan didenda oleh polisi, "Sekarang kami dilarang ke pantai, besok-besok apa kami dilarang keluar di jalanan?"
Sementara pembaca Facebook BBC Indonesia lain, Ifa Hafidzah, mengatakan, "Lagian ngapain basah-basahan dipantai dengan hijab? Pake hijab tapi gak mengerti fungsinya ya bodoh namanya. Mau pake hijab harusnya udah tahu fungsinya dan sudah harus mau juga meninggalkan semua hal yg gak cocok dilakukan dengan berhijab. Apa gunanya hijab coba kalo basah-basahan di tempat umum, kain udah basah nempel ketat ke badan, masih ada fungsi hijab disitu? Kebanyakan muslimah taunya pake hijab aja asal penuhi kewajiban berhijab, tapi gak ngerti fungsinya dan memang gak mau ngerti.. pada munafik cuma ingin keliatan beriman aja..."
Pernyataan Ifa ini sebenarnya sudah terjawab lewat kutipan Aheda Zanetti, yang mengklaim sebagai pemegang merk dagang burkini dan burqini.
Menurut Zanetti, niat awal di balik pembuatan burkini adalah agar semua muslimah bisa berpartisipasi dalam gaya hidup pantai Australia, negara di mana dia sudah tinggal "sepanjang hidupnya".
"Saya tahu apa artinya jilbab. Saya tahu apa artinya cadar. Saya tahu apa artinya Islam. Dan saya tahu siapa saya. Saya ingin anak-anak perempuan saya tumbuh dengan memiliki kebebasan memilih," kata Zanetti.
"Saya tidak peduli jika mereka ingin punya bikini. Ini pilihan mereka. Tidak ada orang di dunia ini yang bisa menyuruh kami, apa yang harus dipakai atau apa yang tidak boleh dikenakan."
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny, perlakuan diskriminasi cenderung lebih banyak dialami oleh perempuan, "terutama pada bagaimana dia mengenakan baju".
"Seperti sudah dipolitisasi. Kalau di Aceh, yang terjadi adalah perempuan harus menggunakan baju yang tertutup, karena dianggap bahwa ini adalah akidah agama, sementara di belahan dunia lain, cara perempuan memakai baju itu juga yang menjadi persoalan, sebaliknya. Sebagian besar yang dipersoalkan adalah bagaimana perempuan memakai baju, itu yang dianggap lebih penting daripada penegakan hak asasi manusia atau kesejahteraan sosial," kata Adriana.
Yang terjadi, menurut Adriana, baik di Prancis dengan larangan burkini di pantai maupun Aceh dengan larangan pakaian yang terlalu ketat, adalah "masalah mayoritas, minoritas".
Padahal, kata Adriana, ini adalah masalah perubahan sosial yang mendapat reaksi. "Sebenarnya dalam perkembangan waktu, perubahan sosial itu bisa diterima, yang kita butuhkan adalah penerimaan hal yang berbeda, toleransi, kalau tidak ada toleransi terhadap perubahan, yang terjadi adalah konflik sosial," ujarnya.
Yang terpenting, menurut Adriana, soal pakaian, "ini keinginan kita sendiri, bukan pengaruh orang lain, tidak terpaksa menggunakan baju itu," karena berpakaian adalah bagian dari kebebasan berekspresi.
"Kalau di Aceh, seperti itu, yang kami sesalkan adalah adanya paksaan, bahwa perempuan harus menggunakan jilbab, atau tidak boleh menggunakan celana jeans," kata Adriana.
Namun, negara-negara Eropa juga menurut Adriana "harus menerima" jika memakai burkini adalah kebutuhan dari penggunanya sendiri dan tidak ada paksaan, maka negara tak boleh turut campur.
Hal senada juga diungkapkan oleh aktivis hak perempuan dan cendekiawan muslim Neng Dara Affiah.
"Berpakaian itu bagian dari kebebasan berekspresi, kedaulatan yang tak bisa digantikan oleh apapun, ‘Aku mau pakai apa, itu terserah aku, itu kebebasan berekspresi,' maka sebaiknya pemerintah tidak melarang mau pakai burkini atau tidak, sepanjang tidak merusak atau memberi ketidakamanan pada orang lain," ujarnya.
Namun soal aturan berpakaian bagi perempuan di Aceh, Neng punya pendapat berbeda, karena Aceh "punya legitimasinya, (Aceh) secara legal adalah daerah yang menerapkan hukum Islam".
"Tidak apple to apple membandingkan Aceh dengan Prancis," kata Neng.
Apalagi, menurutnya, konteks Prancis sebagai negara sekuler yang seharusnya tidak hanya memberi ruang pada mereka yang tidak menganut agama tapi juga pada kelompok masyaraat yang taat agama.
Meski Aceh punya legitimasi hukum Islam, namun Neng memberi catatan besar, "bahwa terlalu banyak larangan yang mendiskriminasi perempuan dalam aturan-aturan hukumnya."
Dan terhadap larangan terhadap perempuan turis asing mengenakan bikini di pantai-pantai Aceh, Neng mengatakan bahwa bagi wilayah yang menerapkan hukum Islam, maka tak masalah jika Aceh memberlakukan aturan tersebut, meski hal itu akan dianggap "janggal".
Neng membandingkan larangan memakai bikini di pantai-pantai di Aceh dengan larangan bagi orang non-muslim masuk ke Mekah karena Arab Saudi menetapkan diri sebagai negara agama.
"Di era sekarang, dari kacamata globalisasi dan dunia internasional, hal itu terlihat janggal saja, tapi legal."
sumber: bbc.com/indonesia
No comments:
Post a Comment